Ijtihad Tidak Dapat Dibatalkan dengan Ijtihad yang Lain

Kaidah Fiqih اَلْإِجْتِهَادُ لَايُنْقَضُ بِالْإِجْتِهَادِ (Ijtihad tidak dapat dibatalkan dengan ijtihad) termasuk Kaidah Fiqih cabang yang disepakati oleh mayoritas ulama. Kaidah ini berarti bahwa hasil ijtihad zaman dulu tidak boleh / tidak dapat dibatalkan oleh ijtihad zaman sekarang. Kenapa demikian?, karena pada prinsipnya suatu ijtihad tidak dapat dirusak oleh ijtihad yang lain. Dengan demikian suatu ijtihad yang dilakukan pada masa yang lalu tidak dapat dibatalkan oleh hasil ijtihad yang dilakukan kemudian, baik dilakukan oleh mujtahid itu sendiri maupun mujtahid yang lain. Kaidahnya adalah:

اَلْإِجْتِهَادُ لَايُنْقَضُ بِالْإِجْتِهَادِ

Ijtihad Tidak Dapat Dibatalkan Demi Kepastian Hukum

Hukum hasil ijtihad seorang mujtahid terdahulu tidak dapat dibatalkan oleh hukum hasil ijtihad kemudian, baik oleh mujtahid itu sendiri maupun mujtahid yang lain. Hal ini karena ijtihad tidaklah ditetapkan melalui proses yang sembarangan / asal-asalan dalam menetapkan hukum. Sebagaimana pengertian ijtihad itu sendiri, dalam berijtihad seorang mujtahid mengerahan seluruh kemampuan untuk menemukan hukum-hukum syara yang berhubungan dengan amal perbuatan dari satu per satu dalil-dalilnya. Karena itu dapat dikatakan bahwa hasil ijtihad yang kedua tidaklah lebih kuat nilai dan kualitasnya dari hasil ijtihad yang pertama.

Selain itu, akan terjadi ketidakpastian hukum apabila suatu hukum hasil ijtihad dapat dibatalkan oleh hasil ijtihad yang lain, dan bisa berakibat adanya kesulitan dan kekacauan yang lebih besar. Jika suatu hukum hasil ijtihad terdahulu dibatalkan oleh hasil ijtihad kemudian maka akan terjadi mata rantai pembatalan hukum yang tidak berkesudahan, tidak ada habisnya, sehingga muncul ketidakstabilan hukum (idhtirab alahkam). Hasil itihad atau keputusan hakim hanya dapat dibatalkan apabila menyalahi nash atau dalil dari Quran dan Sunah yang Qath’i. Jika hasil ijtihad seorang mujtahid atau keputusan hakim itu bertentangan dengan nash atau dalil dari Quran dan Sunah yang Qath’i, maka hasil ijtihad tersebut harus dibatalkan.


Perbedaan hukum-hukum ijtihadiyah

Produk hukum hasil ijtihad baik yang dilakukan mujtahid secara individu maupun kolektif, pada prinsipnya tidak untuk diberlakukan pada setiap tempat dan diberlakukan selamanya / sepanjang masa, tetapi hasil ijtihad tersebut diberlakukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, sesuai kondisi lingkungan, wilayah dan tradisi yang ada dalam masyarakat tersebut. Perbedaan hukum hasil ijtihad ini, berlaku Kaidah Fiqih cabang kedua yang disepakati oleh mayoritas ulama, yaitu “Perbedaan hukum-hukum ijtihadiyah disebabkan perbedaan lingkungan dan wilayah”.

Contohnya adalah Ijtihad Umar dalam masalah pembagian harta warisan. Dalam kasus dimana ahli warisnya terdiri dari: suami, ibu, dan dua orang saudara seibu dan saudara sekandung, berdasarkan ijtihadnya, Umar menetapkan bahwa saudara kandung yang ashabah tersebut tidak mendapat bagian waris karena tidak ada sisa lagi. Tetapi di waktu yang lain pada kasus yang sama dalam pembagian warisan, Umar menetapkan bahwa saudara kandung mendapat bagian yang sama dengan dua orang saudara seibu, sepertiga harta peninggalan. Karena Ijtihad tidak dapat dibatalkan dengan ijtihad, maka keputusan Umar dalam ijtihad terakhir ini tidak membatalkan keputusan hasil ijtihad yang sebelumnya. Ketika ditanyakan mengenai perbedaan keputusan ini, Umar menjawab: Itu adalah keputusan kami pada masa lalu,sedangkan ini adalah keputusan kami pada masa sekaraang.

Video Ushul Fiqih

Ushul Fiqih

ushulfiqih.com