Quran adalah kitab suci yang memuat wahyu (firman) Allah. Quran merupakan sumber hukum Islam yang utama. Sedangkan Tafsir atau terjemahan Quran, baik berbahasa Arab atau bahasa lainnya, sudah termasuk interpretasi terhadap Quran. Sebagai interpretasi, karenanya tidak dapat dikatakan atau dijadikan sumber hukum Islam. Alih bahasa, penafsiran, dsb meskipun terjemahan atau tafsir tersebut menggunakan gaya bahasa tingkat tinggi tetap saja berbeda dengan Quran. Hal ini karena bahasa Arab yang menjadi bahasa Quran memiliki karakteristik kompleksitas yang luas dari bahasa lain.
Ayat-ayat Quran tentang Hukum (Ayat Ahkam)
Ayat-ayat Quran yang berbicara tentang hukum kebanyakannya bersifat umum. Ayat-ayat Quran yang berhubungan dengan hukum kadang dilalahnya (maknanya) qath’i (jelas), tetapi kadan kadang dilalahnya dzhani (kurang jelas). Ayat dengan dilalah qath’i maksudnya ayat yang memuat hukum tersebut jelas dan tidak ada makna atau pengertian lain selain yang dimaksudkan. Dan ayat dengan dilalah dzhani sangat dimungkinkan muncul adanya beberapa pengertian dalam ayat tersebut.
Ralitas tersebut menjadikan Quran sebagai kitab yang sangat interpretable. Sebagai sumber hukum Islam, Quran memiliki perdebatan dan beragam kontestasi dalam memaknai ayat-ayat yang ada didalamnya. Selain itu Quran juga adalah kitab yang kaya ungkapan metafor. Dan karenanya menjadi multiinterpretasi. Ada beragam tafsir. Sangat tidak mungkin mewujudkan ketunggalan tafsir dan pemahaman. Quran bisa dipahami secara berbeda-beda.
Selalu ada beragam perdebatan dan kontestasi dalam memaknai Quran. Baik dengan pendekatan secara langsung melalui dilalah zahirnya ataupun melalui penafsiran atau perantara penelitian, ijtihad, dan istinbath. Beragamnya pemaknaan terhadap Quran pada akhirnya mempengaruhi ragam pemahaman atas Islam.
Masalah hermeneutika ayat muhkamat dan ayat mutasyabihat misalnya, selalu menjadi perbedaan pandangan. Misalnya tentang kebolehan melakukan ta’wil (pergeseran makna), seperti kata tangan dalam QS. Al-Fatĥ 48: 10, yadu allāhi fawqa ‘aydīhim (tangan Allah di atas tangan mereka) yang diartikakan dengan kekuasaan, karena kita memiliki konsep mendasar dalam teologi dimana tidak diperbolehkan menyamakan Tuhan dengan makhluknya. Ta’wil terhadap kata “tangan” ini memiliki relevansi yang sama seperti halnya dalam QS. Al-Mā’idah 5: 38, wa as-sāriqu wa as-sāriqatu fāqţa`ū ‘aydiyahumā (laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya). Jika takwil diperbolehkan maka potong tangan bisa dimaknai lain, dan pidana Islam bisa mengambil bentuk lain selain memotong tangan secara harfiah. Sementara bagi yang tidak memperbolehkan, takwil sebaliknya dianggap merubah Qur’an (tahrif) karena memberi makna yang jauh berbeda dari harfiahnya.
Quran sebagai Sumber Hukum Islam
Sebagai dasar kehidupan normatif atau teks fondasional, Quran tidak berdiri sendiri. Di samping Quran ada Hadis, konsensus masyarakat (ijma’), dan penalaran rasional yang berfungsi sebagai sumber hukum Islam. Penalaran rasional mencakup didalamnya metodologi untuk memahami nash seperti analogi (qiyas), maslahah mursalah, istihsan, dan lainnya. Dan yang menjadi ukuran bagi interpretasi Quran dan Sunnah dalam pemikiran maupun penggunaan apakah diterima atau ditolak adalah ijma’. Ijma’, atau konsensus masyarakat adalah yang menjadi ukuran bagi interpretasi Quran dan Sunnah (Interpretasi Nabi atas Quran) dalam pemikiran maupun penggunaan apakah diterima atau ditolak. Penafsiran tentang firman Allah tidak bisa dimonopoli atau diklaim hanya milik keyakinan agama tertentu atau mazhab tertentu.
Quran adalah Firman Allah yang menggunakan bahasa manusia (bahasa Arab). Bahasa Arab digunakan sebagai bahasa Quran sebagai alat untuk menyampaikan pesan pada audien wahyu yang merupakan masyarakat berbahasa Arab. Karena Nabi keturunan suku Quraish maka Quran pun hadir dalam bentuk bahasa Arab dalam dialek Quraish. Selain itu, konteks sosio-politik dan historis juga mempengaruhi turunnya ayat Quran selama kurang lebih dua puluh tiga tahun. Hal ini terlihat dalam asbabun nuzul, pembagian ayat Makkah dan ayat Madinah, ayat yang dihapus/diganti (mansukh) dan menggantikan (nasikh). Pengklasifikasian ayat dan surat dalam Qur’an ini memberi pemahaman banyak hal terkait sejarah periwayatan hukum Islam (tarikhul tasyri’), kronologi dan fakta sejarah Islam pada masa awal, sejarah hidup Nabi sejak wahyu pertama hingga wahyu terakhir turun, setting masyarakat tempat turunnya Qur’an dan peristiwa yang terjadi didalamnya, keterakaitan peristiwa dengan turunnya Qur’an, dan lainnya.
Hukum Akidah, Akhlak, dan Fiqih
Hukum-hukum yang terkandung dalam Quran sendiri pada garis besarnya dapat dikategorikan menjadi tiga macam:
- Hukum-hukum tentang kepercayaan (akidah)
Seperangkat kewajiban mukalaf adalah meyakininya adalah meyakini adanya Allah, malaikat, kitab-kitab Allah, Rasul-rasul, hari akhirat dan takdir. - Hukum-hukum tentang akhlak
Kewajiban-kewajiban bagi para mukallaf bersifat untuk memiliki sifat yang terpuji dan menjauh dari sifat yang tercela. - Hukum-hukum tentang perilaku
Aturan hukum tentang perkataan dan perbuatan manusia. Hukum-hukum ini dinamakan Fiqih. Hukum Fiqih sendiri dikategorikan menjadi dua, yaitu Fiqih Ibadah dan Fiqih Muamalah. Fiqih Ibadah memuat hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah. Fiqih ibadah hukumnya selalu tetap, tidak ada perubahan, dan harus dikerjakan sebagaimana yang diterapkan. Sedangkan Fiqih Muamalah mengatur pergaulan hidup manusia dengan manusia lain. Dalam Quran, hukum Fiqih Muamalah hanya disebutkan dasar-dasarnya saja, tidak spesifik atau diuraikan dengan secara mendetail.