Sebagai ilmu alat yang berfungsi sebagai metodologi untuk memahami teks-teks wahyu (Quran dan Sunnah), Ilmu Ushul Fiqih telah melalui proses sejarah yang panjang. Diawali dari munculnya sebagai sebuah pengetahuan, kemudian dibukukan hingga menjadi disiplin ilmu yang mandiri.
Di zaman Nabi, para sahabat bahkan sudah mengenal bagaimana langkah yang digunakan dalam mengeluarkan hukum dari suatu dalil yang ada dalam Quran. Para sahabat sudah mengetahui adanya Qiyas, bisa membedakan lafal yang umum dan yang khusus, serta cabang-cabang disiplin ilmu Ushul Fiqih lainnya. Tentu saja para sahabat belajar langsung dari Rasulullah melalui sabda-sabda, praktik, ataupun penjelasan Rasulullah sendiri terhadap ayat-ayat Quran. Hanya saja, pada masa tersebut, ushul fiqih belumlah menjadi suatu disiplin ilmu tersendiri apalagi dibukukan. Ushul Fiqih digunakan untuk menjelaskan hukum aplikatif terhadap permasalahan pada saat itu.
Ushul Fiqih pada Masa Nabi dan Sahabat
Pada masa ini karya-karya Ilmu Ushul Fiqih belumlah ditemukan dan dirumuskan, namun substansi dari ilmu Ushul Fiqih sudah teraplikasikan. Konsep maslahah/istishlah salah satu teori dalam ilmu Ushul Fiqih terlihat dalam keputusan Abu Bakar ash Shiddiq untuk mengumpulkan Quran dalam satu mushaf, keputusan Umar bin Khathtahab dalam menciptakan sistem penjara, pajak, pengelolaan tanah-tanah rakyat hasil peperangan, keputusan Utsman bn Affan dalam penyatuan bacaan Quran, dan putusan Ali bin Abi Thalib dalam memindahkan pusat kekuasaan dari Madinah ke Kufah.
Kalau Menyebut tokoh, barangkali Umar bin Khattab (menjadi khalifah tahun 634-644) menjadi salah satu tokoh idola dalam ilmu Ushul Fiqih. Khalifah Umar Umar bin Khattab mencontohkan banyak hal dimana ayat Quran tidak bisa didekati secara harfiah. Diberbagai keputusan dalam kepemimpinannya sebagai khalifah, Quran dedekati secara kontekstual. Misalnya dalam kasus jatah harta rampasan perang pasca ditaklukannya Syam, Irak, dan Persia.
Syam, Irak, dan Persia memiliki tanah-tanah pertanian yang luas dan subur. Tanah-tanah itu disita Umar bin Khattab dan dijadikan milik negara, tidak dibagi-bagika pada pasukan Islam. Keputusannya adalah, tanah yang subur tersebut digarap pemilik aslinya dan sebagai gantinya diberlakukan pajak atas tanah-tanah tersebut. Sebuah keputusan yang kontroversial karena tidak sesuai dengan ketentuan pembagian pampasan perang dalam Qs. Al-Anfal: 41, juga mengingkari Sunnah dimana Nabi Muhammad pernah membagikan tanah kota Khaibar kepada pasukan Islam setelah ditaklukan. Dengan demikian Umar bin Khattab melawan ayat Quran sekaligus tidak mencontoh Sunnah Nabi. Pertimbangannya adalah soal kemaslahatan. Pajak dari tanah tersebut digunakan untuk mencukupi finansial pasca penaklukan. Termasuk didalamnya menggaji para tentara yang bertugas di sana.
Contoh lain adalah ketika Khalifah Umar tidak memberikan bagian zakat kepada mualaf (orang yang baru masuk Islam) sebagaimana Qs. 9:60, dimana diterangkan bahwa para mualaf mendapat bagian dari harta zakat. Namun Khalifah Umar justru tidak memberikan jatah mereka, karena konteksnya yang sudah berbeda.
Sejarah Perkembangan Ushul Fiqih
Sejarah Ushul Fiqih mengalami perkembangan yang pesat masa Umayyah, dimana perkembangan Ilmu Pengetahuan mencapai masa keemasan dalam berbagai disiplin ilmu, termasuk Ilmu Ushul Fiqih. Dalam Sejarah Kebudayaan dan Peradaban Islam, Umayyah adalah masa pemerintahan setelah Kekhalifahan Khulafaur Rasyidin tepatnya tahun 661-750. Dalam sejarahnya, Umayyah sendiri mengalami dua periode kekuasaan yaitu periode Damaskus dan Cordoba. Pada masa ini Ilmu Ushul Fiqih berkembang pesat.
As-Syatibi (720-790) menulis Al-Muwafaqaat fi Ushul Syariah (الموافقات في اصول الشريعة), sebuah kitab Ushul Fiqih, Yurisprudensi Islam dan Maqasid Al-Syariah. As-Syatibi sendiri mengalami pergantian pemerintahan dari Umayyah (661-750) ke Abbasiyah (750-1517).
Imam Syafi’i (767-820) menulis Ar-Risalah. Kitab ini juga disebut sebagai kitab induk di dalam disiplin ilmu Ushul Fiqih, dan beliau sendiri dianggap yang memelopori lahirnya disiplin ilmu Ushul Fiqih. Imam Syafi’i merumuskan ushul dalam ber-istinbath, kaidah dalam beristidlal, dan patokan dalam berijtihad. Imam Syafi’i menjadikan fikih sebagai sebuah Ilmu dibangun di atas metodologi Ushul yang tetap, bukan lagi berbasis dari fatwa seorang ulama. Dengan Ushul Fiqih, beliau telah menampakkan substansi dan hakikat dari fikih itu sendiri.
Abu Hamid Al-Ghazali (1058-111) menulis Al-Mustashfa.
Sistematisasi Ilmu Ushul Fiqih
Sebagai disiplin Ilmu, Ushul Fiqih mulai sistematis setelah Imam Muhammad bin Idris asy Syafi’i (w. 204 H) menulis Ar-Risalah. Pada masa ini imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) menulis Tha’at ar Rasul, Dawud bin Ali azh Zhahiri (w. 270 H) menulis al Ijma’, Ibthal at Taqlid, Khabar al Wahid, al Khushsuh wa al ‘Umum; Isa bin Aban al Hanafi (w. 221 H) menulis Khabar al Wahid, dan Itsbat al Qiyas; Ubaidillah al Karkhi al Hanafi (w. 340 H) menulis Risalat fi al Ushul; Abu Bakar al Jasshash al Hanafi (w. 370 H) menulis al Fushul.
Puncaknya terjadi pada abad ke 5 dan 6 Hijriyyah yang ditandai dengan munculnya karya-karya tentang Ushul Fiqih. Qadhi Abdul Jabbar al Mu’tazili (415 H) menulis al ‘Umad, Abu al Husain al Bashri al Mu’tazili (436 H) menulis al Mu’tamad, Abu Ishaq asy Syirazi asy Syafi’i (476 H) menulis l Luma’, Syarah al Luma’, dan at Tabshirah; al Khathib al Baghdadi asy Syafi’i (463 H) menulis al Faqih wa al Mutafaqqih; Imam al Haramain al Juwaini asy Syafi’i (478 H) menulis al Burhan; Abu Hamid al Ghazali asy Syafi’i (505 H) menulis al Mushtashfa, al Mankhul, Syifa’ al Ghalil; Qadhi Abu Ya’la al Hanbali (458 H) menulis al ‘Uddah; Ibnu ‘Aqil al Hanbali (512 H) menulis al Wadhih; Abu al Khaththab al Kalwadzani al Hanbali (510 H) menulis at Tamhid; as Sarakhsi al Hanafi (483 H) menulis al Ushul; al Bazdawi al Hanafi (482 H) menulis Kanz al Wushul ila Ma’rifah al Ushul; Abu al Walid al Baji al Maliki menulis Ihkam al Fushul dan al Isyarah.
Dengan banyak ditulisnya kitab-kitab Ushul Fiqih menjadi pondasi dari keseluruhan kajian Ilmu Ushul Fiqih karena telah mencakup seluruh objek-objek ilmu Ushul Fiqih sebagaimana dikenal saat ini.
Timeline Sejarah Ushul Fiqih
Geser (Swipe), Klik ikon (+/-) untuk Zoom in/out. Selengkapnya
Mempelajari sejarah Ushul Fiqih tidak bisa lepas dari sejarah kebudayaan dan peradaban Islam secara umum. Sejarah Ushul Fiqih adalah bagian dari sejarah pertumbuhan ilmu pengetahuan dalam Islam. Mempelajari teori Ushul Fiqih tidak lengkap jika tidak kitab-kitab dan juga mengenal penulisnya. Mempelajari tokoh yang hidup pada masa Umayyah baik periode Damaskus maupun Cordoba, Abbasiyah, hingga kesultanan Utsmaniyah.
570 Nabi Muhammad lahir di Mekah.
610 Nabi Muhammad menerima wahyu pertamanya di Gunung Hira.
634-644 Umar bin Khattab menjadi Khalifah
661-750 Kekhalifahan Umayyah
699-767 Abu Hanifah
711-795 Imam Malik
720-790 As-Syatibi penulis Al-Muwafaqaat fi Ushul Syariah (الموافقات في اصول الشريعة) Kitab Ushul Fiqih, Yurisprudensi Islam dan Maqasid Al-Syariah
750-1517 Kekhalifahan Abbasiyah
767-820 Imam Syafi’i penulis Al-Risalah (كتاب الرسالة في أصول الفقه)
810-870 Imam Bukhari
817-875 Imam Muslim
919-1171 Kekhalifahan Fatimiyah
929-1031 Kekhalifahan Umayyah Al-Andalus
994-1066 Imam Baihaqi
1058-111 Abu Hamid Al-Ghazali
1149-1210 Fakhruddin Razi penulis Tafsir al-Kabir
1207-1273 Jalaludin Rumi
1299-1923 Kesultanan Utsmaniyah
1445-1505 Jalaluddin as-Suyuthi penulis Tafsir al‑Jalalain
1759-1834 Asy-Syaukani
1888-1956 Abdulwahab Khalaf
1898-1974 Muhammad Abu Zahra
1931 Al-Iʻtiṣām (كتاب الاعتصام) diterbitkan di Cairo