Quran dan Sunah banyak mengisahkan suatu hukum yang telah disyariatkan pada umat zaman dulu melalui para Rasul yang diutus kepada mereka. Dalam Ushul Fiqih hukum syariat yang disebut dalam Quran dan Sunnah tersebut disebut Syar’u Man Qablana atau hukum Syari’at sebelum kita (umat Islam). Syariat-syariat yang berhubungan dengan hukum inilah yang dimaksud Syar’u Man Qablana, seperti syariat yang diberikan kepada Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, as. dan ajaran nabi-nabi lain sebelum Islam. Contohnya adalah puasa. Puasa adalah suatu ibadah yang telah disyariatkan kepada umat-umat sebelum Islam, dan kemudian disyariatkan juga untuk umat Islam. Sebagaimana disebut dalam surat Al-Baqarah (2): 183.
يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (QS. Al-Baqarah : 183)
Apakah semua syariat yang diturunkan kepada nabi-nabi lain sebelum Islam secara otomatis berlaku bagi umat Nabi Muhammad SAW?
Pengertian Syar’u Man Qablana
Syar’u Man Qablana adalah hukum Syari’at sebelum kita (umat Islam). Para ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa syariat yang diberikan kepada para nabi sebelum Nabi Muhammad, yang tidak tercantum dalam Al-Qur’an dan Sunnah, tidak berlaku lagi bagi umat Islam. Dan syariat sebelum Islam yang disebutkan dalam Quran dan Sunnah dan secara tegas ditetapkan bahwa syariat itu berlaku bagi umat umat Islam, maka itu menjadi bagian dari Syariat Islam. Meski Syar’u Man Qablana secara konsekuensi hukum berlaku, namun keberlakuannya tersebut bukan karena kedudukannya sebagai syariat sebelum Islam, tetapi karena ditetapkan dalam Quran dan Sunah.
Perbedaan pendapat diantara para ulama Ushul Fiqih terjadi dalam persoalan Syar’u Man Qablana yang tercantum dalam Quran, tetapi tidak ada ketegasan apakah bahwa hukum tersebut masih berlaku bagi umat Islam atau tidak, karena tidak adanya nasakh atau penjelasanan yang membatalkanya.
Syariat Sebelum Islam yang Disyariatkan dalam Islam
Syariat sebelum Islam (Syar’u Man Qablana) yang disebutkan dalam Quran dan Sunnah yang sahih dan kemudian syariat tersebut diwajibkan kepada kita sebagaimana diwajibkan kepada mereka, atau secara tegas ditetapkan bahwa syariat itu berlaku bagi umat umat Islam, maka itu menjadi bagian dari Syariat Islam dan tidak diragukan lagi bahwa syariat tersebut ditujukan juga kepada kita. Cotohnya adalah perintah puasa dalam QS. Al-Baqarah : 183 sebagaimana disebutkan sebelumnya.
Syariat Sebelum Islam yang Tidak Disyariatkan dalam Islam
Syariat yang diberikan kepada Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, as. dan ajaran nabi-nabi lain sebelum Islam, dan hukum tersebut telah dihapus untuk kita, maka hukum tersebut tidak disyariatkan kepada kita. Contohnya adalah syariat Nabi Musa bahwa seseorang yang telah berbuat dosa tidak akan diampuni dosanya kecuali dengan membunuh dirinya. Dan jika ada najis yang menempel pada tubuh, maka untuk menyucikannya adalah dengan memotong bagian yang terkena najis atau tidak diangap suci kecuali dengan memotong anggota badan tersebut. Syariat ini telah dihapus dan hukum tersebut tidak berlaku bagi umat Islam.
Dengan demikian ada dua kondisi. Pertama, syariat terdahulu yang dalilnya jelas, secara tegas ditetapkan bahwa syariat itu berlaku bagi umat umat Islam, maka itu menjadi bagian Syariat Islam. Kedua, jika secara tegas dihapus maka hukum tersebut tidak berlaku lagi. Sementara syariat terdahulu yang tidak terdapat dalil yang menunjukkan bahwa hal itu diwajibkan pada kita sebagaimana diwajibkan pada mereka, atau tidak ada ketegasan bahwa hukum itu masih berlaku bagi umat Islam dan tidak pula ada penjelasan yang membatalkanya, ada perbedaan pendapat.
Jadi, diantara dua pernyataan ini, manakah yang lebih tepat: “Syariat Islam menasakh atau menghapus syariat terdahulu, kecuali apabila dalam syariat terdapat sesuatu yang menetapkannya”, atau “Syariat Islam hanya menasakh syariat terdahulu yang bertentangan dengan syariat Islam saja”?
Contoh Syar’u Man Qablana
Selain Puasa, Qur’an menyebut Syar’u Man Qablana lain, misalnya hukum tentang hukum pembunuhan didalam QS.Al-Maidah(5): 32
مِنْ أَجْلِ ذَٰلِكَ كَتَبْنَا عَلَىٰ بَنِىٓ إِسْرَٰٓءِيلَ أَنَّهُۥ مَن قَتَلَ نَفْسًۢا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍۢ فِى ٱلْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ ٱلنَّاسَ جَمِيعًۭا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَآ أَحْيَا ٱلنَّاسَ جَمِيعًۭا ۚ وَلَقَدْ جَآءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِٱلْبَيِّنَـٰتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيرًۭا مِّنْهُم بَعْدَ ذَٰلِكَ فِى ٱلْأَرْضِ لَمُسْرِفُونَ
“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa barang siapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Barang siapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia. Sesungguhnya Rasul Kami telah datang kepada mereka dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas. Tetapi kemudian banyak di antara mereka setelah itu melampaui batas di bumi.” QS. Al-Maidah(5): 32
Mayoritas Hanafiyah, sebagian Malikiyah, dan Syafi’iyah berpendapat bahwa hukum tersebut masih berlaku dan disyariatkan juga pada kita sebagaimana disyariatkan kepada mereka. Umat Islam berkewajiban mengikuti dan menerapkannya karena hukum tersebut telah diceritakan kepada kita dan juga tidak terdapat hukum yang menasakh atau mengganti/menghapusnya. Dengan demikian setiap Mukalaf wajib mengikutinya. Ulama Hanafiyah menilai bahwa ayat ini adalah mutlak, frasa pembunuhan disebut umum, tidak diperinci secara spesifik apakah pembunuhan itu adalah muslim atau perempuan, laki-laki ataupun perempuan, anak-anak atau dewasa.
Qur’an juga menyebutkan hukuman qishash (hukuman setimpal) dalam syariat Nabi Musa dalam QS. Al-Maidah(5): 45
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَآ أَنَّ ٱلنَّفْسَ بِٱلنَّفْسِ وَٱلْعَيْنَ بِٱلْعَيْنِ وَٱلْأَنفَ بِٱلْأَنفِ وَٱلْأُذُنَ بِٱلْأُذُنِ وَٱلسِّنَّ بِٱلسِّنِّ وَٱلْجُرُوحَ قِصَاصٌۭ ۚ فَمَن تَصَدَّقَ بِهِۦ فَهُوَ كَفَّارَةٌۭ لَّهُۥ ۚ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّـٰلِمُونَ
“Kami telah menetapkan bagi mereka di dalamnya (Taurat) bahwa nyawa (dibalas) dengan nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada kisasnya (balasan yang sama). Barang siapa melepaskan (hak kisas)nya, maka itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang zalim.” QS. Al-Maidah(5): 45
Berbagai bentuk qishash dalam ayat tersebut diperselisihkan dikalangan ulama fikih, apakah semuanya berlaku untuk umat Islam atau hanya sebagian yang berlaku. Di dalam Quran sendiri ketegasan Qisas yang berlaku bagi umat Islam hanya karena sebab pembunuhan, sebagaimana QS. Al-Baqarah(2): 178
يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلْقِصَاصُ فِى ٱلْقَتْلَى ۖ ٱلْحُرُّ بِٱلْحُرِّ وَٱلْعَبْدُ بِٱلْعَبْدِ وَٱلْأُنثَىٰ بِٱلْأُنثَىٰ ۚ فَمَنْ عُفِىَ لَهُۥ مِنْ أَخِيهِ شَىْءٌۭ فَٱتِّبَاعٌۢ بِٱلْمَعْرُوفِ وَأَدَآءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَـٰنٍۢ ۗ ذَٰلِكَ تَخْفِيفٌۭ مِّن رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌۭ ۗ فَمَنِ ٱعْتَدَىٰ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَلَهُۥ عَذَابٌ أَلِيمٌۭ
“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu (melaksanakan) kisas berkenaan dengan orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, perempuan dengan perempuan. Tetapi barang siapa memperoleh maaf dari saudaranya, hendaklah dia mengikutinya dengan baik, dan membayar diat (tebusan) kepadanya dengan baik (pula). Yang demikian itu adalah keringanan dan rahmat dari Tuhanmu. Barang siapa melampaui batas setelah itu, maka ia akan mendapat azab yang sangat pedih.” QS. Al-Baqarah(2): 178
Dasar Syar’u Man Qablana
Dasar Hanafiyah, Malikiyah, dan mayoritas Syafi’iyah dimana hukum Syar’u Man Qablana berlaku bagi umat Islam, adalah pada dasarnya syariat itu adalah satu, berasal dari pembuat syariat yang sama (Allah). Maka apa yang disyariatkan kepada para nabi terdahulu dan disebutkan dalam Quran berlaku juga bagi umat Islam, sebagaimana QS. As-Syura/42: 13 juga QS. an-Nahl/16:123 dan QS. Al- An’am/6:90 yang menyuruh kita mengikuti para nabi terdahulu.
شَرَعَ لَكُم مِّنَ ٱلدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِۦ نُوحًۭا وَٱلَّذِىٓ أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِۦٓ إِبْرَٰهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَىٰٓ ۖ أَنْ أَقِيمُوا۟ ٱلدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا۟ فِيهِ ۚ كَبُرَ عَلَى ٱلْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ ۚ ٱللَّهُ يَجْتَبِىٓ إِلَيْهِ مَن يَشَآءُ وَيَهْدِىٓ إِلَيْهِ مَن يُنِيبُ
“Dia (Allah) telah mensyariatkan kepadamu agama yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu tegakkanlah agama (keimanan dan ketakwaan) dan janganlah kamu berpecah belah di dalamnya. Sangat berat bagi orang-orang musyrik (untuk mengikuti) agama yang kamu serukan kepada mereka. Allah memilih orang yang Dia kehendaki kepada agama tauhid dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya bagi orang yang kembali (kepada-Nya).” QS. As-Syura/42: 13
ثُمَّ أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ أَنِ ٱتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَٰهِيمَ حَنِيفًۭا ۖ وَمَا كَانَ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ
Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), “Ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan dia bukanlah termasuk orang yang musyrik.” QS. an-Nahl/16:123
أُو۟لَـٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ هَدَى ٱللَّهُ ۖ فَبِهُدَىٰهُمُ ٱقْتَدِهْ ۗ قُل لَّآ أَسْـَٔلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا ۖ إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرَىٰ لِلْعَـٰلَمِينَ
Mereka itulah (para nabi) yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutlah petunjuk mereka. Katakanlah (Muhammad), “Aku tidak meminta imbalan kepadamu dalam menyampaikan (Alquran).” Alquran itu tidak lain hanyalah peringatan untuk (segala umat) seluruh alam. QS. Al- An’am/6:90
Berbeda dengan Hanafiyah, Malikiyah, dan mayoritas Syafi’iyah dimana hukum Syar’u Man Qablana berlaku bagi umat Islam, Mu’tazilah, Syi’ah, dan sebagian Syafi’iyah berpendapat syariat sebelum Islam yang disebut dalam Quran tidak secara otomatis menjadi syariat bagi umat Islam, kecuali ada ketegasan untuk itu. Dengan diutusnya Nabi Muhammad yang membawa syariat Islam maka berakhirlah masa berlakunya syariat-syariat terdahulu. Mereka juga memiliki dasar yang kuat dalam Quran:
وَأَنزَلْنَآ إِلَيْكَ ٱلْكِتَـٰبَ بِٱلْحَقِّ مُصَدِّقًۭا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ ٱلْكِتَـٰبِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ ۖ فَٱحْكُم بَيْنَهُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَآءَهُمْ عَمَّا جَآءَكَ مِنَ ٱلْحَقِّ ۚ لِكُلٍّۢ جَعَلْنَا مِنكُمْ شِرْعَةًۭ وَمِنْهَاجًۭا ۚ وَلَوْ شَآءَ ٱللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةًۭ وَٰحِدَةًۭ وَلَـٰكِن لِّيَبْلُوَكُمْ فِى مَآ ءَاتَىٰكُمْ ۖ فَٱسْتَبِقُوا۟ ٱلْخَيْرَٰتِ ۚ إِلَى ٱللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًۭا فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ
Dan Kami telah menurunkan Kitab (Alquran) kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan menjaganya, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang di turunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah di berikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu terhadap apa yang dahulu kamu perselisihkan. (QS. al-Maidah/5:48
Kisah Ketika Mu’az bin Jabal ketika diutus untuk menjadi hakim di Yaman juga menjadi dasar pendapat, karena tidak terdapat petunjuk Rasulullah untuk merujuk kepada Syar’u Man Qablana. Seandainya dapat dijadikan referensi, sudah tentu Rasulullah memberi petunjuk untuk itu.
Menurut Abdul Wahhab Khallaf pendapat Hanafiyah, Malikiyah, dan mayoritas Syafi’iyah dimana hukum Syar’u Man Qablana berlaku bagi umat Islam, lebih kuat. Syariat Islam hanya membatalkan Syar’u Man Qablana yang berbeda dengan syariat Islam. Syar’u Man Qablana yang disebut dalam Al- Qur’an tanpa ada ketegasan bahwa hukum itu di nasakh atau dihapuskan maka hukum itu berlaku bagi umat Islam. Disebutnya Syar’u Man Qablana dalam Quran adalah petunjuk bagi umat Islam, bahwa itu juga berlakunya bagi umat Islam.
Video Ushul Fiqih
Lihat ‘Urf di Wikipedia